A. Pengertian
Sirosis
hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan
jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan
nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi
nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan
makro menjadi tidak teratur akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut
(Suzanne C. Smeltzer dan Brenda G. Bare, 2001).
B. Etiologi
Ada 3 tipe sirosis atau pembentukan parut dalam
hati :
1.
Sirosis
portal laennec (alkoholik nutrisional), dimana jaringan parut secara khas
mengelilingi daerah portal. Sering disebabkan oleh
alkoholis kronis.
2.
Sirosis pascanekrotik, dimana
terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis
virus akut yang terjadi sebelumnya.
3.
Sirosis
bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di sekitar saluran
empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan
infeksi (kolangitis).
Bagian
hati yang terlibat terdiri atas ruang portal dan periportal tempat kanalikulus
biliaris dari masing-masing lobulus hati bergabung untuk membentuk saluran
empedu baru. Dengan demikian akan terjadi pertumbuhan jaringan yang berlebihan
terutama terdiri atas saluran empedu yang baru dan tidak berhubungan yang
dikelilingi oleh jaringan parut.
C. Manifestasi Klinis
Penyakit ini mencakup gejala
ikterus dan febris yang intermiten.
Pembesaran hati. Pada awal
perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak.
Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam yang dapat diketahui
melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran
hati yang cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada
selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit yang lebih
lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut menyebabkan
pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi, permukaan hati akan teraba
benjol-benjol (noduler).
Obstruksi Portal dan Asites. Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati
yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari organ-organ digestif
praktis akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke hati. Karena hati
yang sirotik tidak memungkinkan
pelintasan darah yang bebas, maka aliran darah tersebut akan kembali ke dalam
limpa dan traktus gastrointestinal dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini
menjadi tempat kongesti pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ
tersebut akan dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja
dengan baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita dispepsia
kronis atau diare. Berat badan pasien secara berangsur-angsur mengalami
penurunan.
Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga
peritoneal akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan
adanya shifting dullness atau
gelombang cairan. Splenomegali juga terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau
dilatasi arteri superfisial menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang
sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
Varises Gastrointestinal. Obstruksi aliran darah lewat hati yang
terjadi akibat perubahan fibrofik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah
kolateral sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pernbuluh portal ke dalam pernbuluh darah
dengan tekanan yang lebih rendah. Sebagai akibatnya, penderita sirosis sering
memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok serta terlihat
pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi pembuluh darah di seluruh
traktus gastrointestinal. Esofagus, lambung dan rektum bagian bawah merupakan
daerah yang sering mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi
pembuluh darah ini akan membentuk varises atau temoroid tergantung pada
lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume
darah dan tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat
mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu, pengkajian harus
mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan yang nyata dan tersembunyi dari
traktus gastrointestinal. Kurang lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis
ringan; sisanya akan mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung
dan esofagus.
Edema. Gejala lanjut lainnya pada sirosis
hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma
menurun sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi
aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta air dan
ekskresi kalium.
Defisiensi Vitamin dan
Anemia. Karena
pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin tertentu yan tidak memadai
(terutama vitamin A, C dan K), maka tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut
sering dijumpai, khususnya sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan
defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal
bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi hati turut
menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan
status nutrisi serta kesehatan pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan
hebat yang mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
Kemunduran Mental. Manifestasi klinik lainnya adalah
kemunduran fungsi mental dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat.
Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan
mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi terhadap waktu
serta tempat, dan pola bicara.
D. Patofisiologi
Konsumsi
minuman beralkohol dianggap sebagai faktor penyebab yang utama. Sirosis terjadi
paling tinggi pada peminum minuman keras. Meskipun defisiensi gizi dengan
penurunan asupan protein turut menimbulkan kerusakan hati pada sirosis, namun
asupan alkohol yang berlebihan merupakan faktor penyebab utama pada perlemakan
hati dan konsekuensi yang ditimbulkannya. Namun demikian, sirosis juga pernah
terjadi pada individu yang tidak memiliki kebiasan minum dan pada individu yang
dietnya normal tapi dengan konsumsi alkohol yang tinggi.
Faktor
lain diantaranya termasuk pajanan dengan zat kimia tertentu (karbon
tetraklorida, naftalen, terklorinasi, arsen atau fosfor) atau infeksi
skistosomiastis dua kali lebih banyak daripada wanita dan mayoritas pasien
sirosis berusia 40 – 60 tahun.
Sirosis
laennec merupakan penyakit yang ditandai oleh nekrosis yang melibatkan sel-sel
hati dan kadang-kadang berulang selama perjalanan penyakit sel-sel hati yang
dihancurkan itu secara berangsur-angsur digantikan oleh jaringan parut yang
melampaui jumlah jaringan hati yang masih berfungsi. Pulau-pulau jaringan
normal yang masih tersisa dan jaringan hati hasil regenerasi dapat menonjal
dari bagian-bagian yang berkonstriksi sehingga hati yang sirotik memperlihatkan
gambaran mirip paku sol sepatu berkepala besar (hobnail appearance) yang khas.
Sirosis
hepatis biasanya memiliki awitan yang insidus dan perjalanan penyakit yang
sangat panjang sehingga kadang-kadang melewati rentang waktu 30 tahun/lebih.
E. Proses Keperawatan Pada Pasien Sirosis Hepatis
- Pengkajian
Pengkajian
keperawatan berfokuskan pada awitan gejala dan riwayat faktor-faktor pencetus,
khususnya penyalahgunaan alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping asupan
makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani penderita. Pola
penggunaan alkohol yang sekarang dan pada masa lampau (durasi dan jumlahnya)
dikaji serta dicatat. Yang juga harus dicatat adalah riwayat kontak dengan
zat-zat toksik di tempat kerja atau selama melakukan aktivitas rekreasi. Pajanan
dengan obat-obat yang potensial bersifat hepatotoksik atau dengan obat-obat
anestesi umum dicatat dan dilaporkan.
Status
mental dikaji melalui anamnesis dan interaksi lain dengan pasien; orientasi
terhadap orang, tempat dan waktu harus diperhatikan. Kemampuan pasien untuk
melaksanakan pekerjaan atau kegiatan rumah tangga memberikan informasi tentang
status jasmani dan rohani. Di samping itu, hubungan pasien dengan keluarga,
sahabat dan teman sekerja dapat memberikan petunjuk tentang kehilangan
kemampuan yang terjadi sekunder akibat meteorismus (kembung), perdarahan
gastrointestinal, memar dan perubahan berat badan perlu diperhatikan.
Status
nutrisi yang merupakan indikator penting pada sirosis dikaji melalui
penimbangan berat yang dilakukan setiap hari, pemeriksaan antropometrik dan
pemantauan protein plasma, transferin, serta kadar kreatinin.
Intervensi Keperawatan
|
Rasional
|
Hasil yang diharapkan
|
Diagnosa Keperawatan : intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelelahan dan penurunan berat badan.
Tujuan :
peningkatan energi dan partisipasi
dalam aktivitas.
|
||
1.
Tawarkan diet tinggi kalori,
tinggi protein (TKTP).
2. Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan
K)
3. Motivasi pasien untuk melakukan
latihan yang diselingi istirahat
4. Motivasi dan bantu pasien untuk
melakukan latihan dengan periode waktu yang ditingkatkan secara bertahap
|
1. Memberikan kalori bagi tenaga dan
protein bagi proses penyembuhan.
2.
Memberikan nutrien tambahan.
3. Menghemat tenaga pasien sambil mendorong
pasien untuk melakukan latihan dalam batas toleransi pasien.
4. Memperbaiki perasaan sehat secara
umum dan percaya diri
|
· Melaporkan peningkatan kekuatan dan
kesehatan pasien.
· Merencanakan aktivitas untuk memberikan
kesempatan istirahat yang cukup.
· Meningkatkan aktivitas dan latihan
bersamaan dengan bertambahnya kekuatan.
· Memperlihatkan asupan nutrien yang
adekuat dan menghilangkan alkohol dari diet.
|
Diagnosa keperawatan : perubahan
suhu tubuh: hipertermia berhubungan dengan proses inflamasi pada sirosis.
Tujuan :
pemeliharaan suhu tubuh yang normal.
|
||
1. Catat suhu tubuh secara teratur.
2.
Motivasi asupan cairan
3. Lakukan kompres dingin atau kantong es
untuk menurunkan kenaikan suhu tubuh.
4. Berikan antibiotik seperti yang
diresepkan.
5.
Hindari kontak dengan
infeksi.
6.
Jaga agar pasien dapat
beristirahat sementara suhu tubuhnya tinggi.
|
1. Memberikan dasar untuk deteksi hati dan
evaluasi intervensi.
2. Memperbaiki kehilangan cairan akibat
perspirasi serta febris dan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien.
3. Menurunkan panas melalui proses konduksi
serta evaporasi, dan meningkatkan tingkat kenyaman pasien.
4. Meningkatkan konsentrasi antibiotik
serum yang tepat untuk mengatasi infeksi.
5. Meminimalkan resiko peningkatan infeksi,
suhu tubuh serta laju metabolik.
6.
Mengurangi laju metabolik.
|
· Melaporkan suhu tubuh yang normal dan tidak terdapatnya gejala
menggigil atau perspirasi.
· Memperlihatkan asupan cairan yang
adekuat.
|
Diagnosa keperawatan : gangguan
integritas kulit yang berhubungan dengan pembentukan edema.
Tujuan :
memperbaiki integritas kulit dan
proteksi jaringan yang mengalami edema.
|
||
1.
Batasi natrium seperti yang
diresepkan.
2. Berikan perhatian dan perawatan yang
cermat pada kulit.
3. Balik dan ubah posisi pasien dengan
sering.
4. Timbang berat badan dan catat asupan
serta haluaran cairan setiap hari.
5. Lakukan latihan gerak secara pasif,
tinggikan ekstremitas edematus.
6. Letakkan bantalan busa yang kecil
dibawah tumit, maleolus dan tonjolan tulang lainnya.
|
1.
Meminimalkan pembentukan
edema.
2.
Jaringan dan kulit yang
edematus mengganggu suplai nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta
trauma.
3. Meminimalkan tekanan yang lama dan
meningkatkan mobilisasi edema.
4. Memungkinkan perkiraan status cairan dan
pemantauan terhadap adanya retensi serta kehilangan cairan dengan cara yang
paling baik.
5.
Meningkatkan mobilisasi
edema.
6.
Melindungi tonjolan tulang
dan meminimalkan trauma jika dilakukan dengan benar.
|
· Memperlihatkan turgor kulit yang normal
pada ekstremitas dan batang tubun.
· Tidak memperlihatkan luka pada kulit.
· Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema,
perubahan warna atau peningkatan suhu di daerah tonjolan tulang.
· Mengubah posisi dengan sering.
|
Diagnosa keperawatan : Gangguan integritas kulit berhubungan dengan
ikterus dan status imunologi yang terganggu.
Tujuan :
Memperbaiki integritas kulit dan
meminimalkan iritasi kulit.
|
||
1. Observasi dan catat derajat ikterus pada
kulit dan sklera.
2. Lakukan perawatan yang sering pada
kulit, mandi tanpa menggunakan sabun dan melakukan masase dengan losion
pelembut (emolien).
3. Jaga agar kuku pasien selalu pendek.
|
1. Memberikan dasar untuk deteksi perubahan
dan evaluasi intervensi.
2. Mencegah kekeringan kulit dan
meminimalkan pruritus.
3. Mencegah ekskoriasi kulit akibat
garukan.
|
· Memperlihatkan kulit yang utuh tanpa
terlihat luka atau infeksi.
· Melaporkan tidak adanya pruritus.
· Memperlihatkan pengurangan gejala
ikterus pada kulit dan sklera.
· Menggunakan emolien dan menghindari
pemakaian sabun dalam menjaga higiene sehari-hari.
|
Diagnosa keperawatan : Perubahan
status nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia dan
gangguan gastrointestinal.
Tujuan :
Perbaikan status nutrisi.
|
||
1. Motivasi pasien untuk makan makanan dan
suplemen makanan.
2.
Tawarkan makan makanan dengan
porsi sedikit tapi sering.
3. Hidangkan makanan yang menimbulkan
selera dan menarik dalam penyajiannya.
4.
Pantang alkohol.
5. Pelihara higiene oral sebelum
makan.
6.
Pasang ice collar untuk mengatasi mual.
7.
Berikan obat yang diresepkan
untuk mengatasi mual, muntah, diare atau konstipasi.
8. Motivasi peningkatan asupan cairan dan
latihan jika pasien melaporkan konstipasi.
9. Amati gejala yang membuktikan adanya perdarahan
gastrointestinal.
|
1.
Motivasi sangat penting bagi
penderita anoreksia dan gangguan gastrointestinal.
2.
Makanan dengan porsi kecil
dan sering lebih ditolerir oleh penderita anoreksia.
3. Meningkatkan selera makan dan rasa
sehat.
4. Menghilangkan makanan dengan “kalori
kosong” dan menghindari iritasi lambung oleh alkohol.
5. Mengurangi citarasa yang tidak enak dan
merangsang selera makan.
6.
Dapat mengurangi frekuensi
mual.
7. Mengurangi gejala gastrointestinal dan
perasaan tidak enak pada perut yang mengurangi selera makan dan keinginan
terhadap makanan.
8. Meningkatkan pola defekasi yang normal
dan mengurangi rasa tidakenak serta distensi pada abdomen.
9. Mendeteksi komplikasi gastrointestinal
yang serius.
|
· Memperlihatkan asupan makanan yang
tinggi kalori, tinggi protein dengan jumlah memadai.
· Mengenali makanan dan minuman yang
bergizi dan diperbolehkan dalam diet.
· Bertambah berat tanpa memperlihatkan
penambahan edema dan pembentukan asites.
· Mengenali dasar pemikiran mengapa pasien
harus makan sedikit-sedikit tapi sering.
· Melaporkan peningkatan selera makan dan rasa sehat.
· Menyisihkan alkohol dari dalam diet.
· Turut serta dalam upaya memelihara
higiene oral sebelum makan dan menghadapi mual.
· Menggunakna obat kelainan
gastrointestinal seperti yang diresepkan.
· Melaporkan fungsi gastrointestinal yang
normal dengan defekasi yang teratur.
· Mengenali gejala yang dapat dilaporkan: melena, pendarahan
yang nyata.
|
Diagnosa keperawatan : Resiko
cedera berhubungan dengan hipertensi portal, perubahan mekanisme pembekuan
dan gangguan dalam proses detoksifikasi obat.
Tujuan :
Pengurangan resiko cedera.
|
||
1.
Amati setiap feses yang
dieksresikan untuk memeriksa warna, konsistensi dan jumlahnya.
2. Waspadai gejala ansietas, rasa penuh
pada epigastrium, kelemahan dan kegelisahan.
3. Periksa setiap feses dan muntahan untuk
mendeteksi darah yang tersembunyi.
4.
Amati manifestasi hemoragi:
ekimosis, epitaksis, petekie dan perdarahan gusi.
5. Catat tanda-tanda vital dengan interval
waktu tertentu.
6. Jaga agar pasien tenang dan membatasi
aktivitasnya.
7. Bantu dokter dalam memasang kateter
untuk tamponade balon esofagus.
8. Lakukan observasi selama transfusi darah
dilaksanakan.
9. Ukur dan catat sifat, waktu serta jumlah
muntahan.
10. Pertahankan pasien dalam keadaan puasa
jika diperlukan.
11. Berikan vitamin K seperti yang
diresepkan.
12.
Dampingi pasien secara terus
menerus selama episode perdarahan.
13. Tawarkan minuman dingin lewat mulut
ketika perdarahan teratasi (bila diinstruksikan).
14. Lakukan tindakan untuk mencegah trauma :
a.
Mempertahankan lingkungan
yang aman.
b.
Mendorong pasien untuk membuang
ingus secara perlahan-lahan.
c.
Menyediakan sikat gigi yang
lunak dan menghindari penggunaan tusuk gigi.
d. Mendorong konsumsi makanan dengan
kandungan vitamin C yang tinggi.
e. Melakukan kompres dingin jika
diperlukan.
f.
Mencatat lokasi tempat
perdarahan.
g. Menggunakan jarum kecil ketika melakukan
penyuntikan.
15. Berikan obat dengan hati-hati; pantau
efek samping pemberian obat.
|
1. Memungkinkan deteksi perdarahan dalam
traktus gastrointestinal.
2. Dapat menunjukkan tanda-tanda dini
perdarahan dan syok.
3. Mendeteksi tanda dini yang membuktikan
adanya perdarahan.
4. Menunjukkan perubahan pada mekanisme
pembekuan darah.
5. Memberikan dasar dan bukti adanya
hipovolemia dan syok.
6. Meminimalkan resiko perdarahan dan
mengejan.
7. Memudahkan insersi kateter kontraumatik
untuk mengatasi perdarahan dengan segera pada pasien yang cemas dan melawan.
8. Memungkinkan deteksi reaksi transfusi
(resiko ini akan meningkat dengan pelaksanaan lebih dari satu kali transfusi
yang diperlukan untuk mengatasi perdarahan aktif dari varises esofagus)
9. Membantu mengevaluasi taraf perdarahan
dan kehilangan darah.
10. Mengurangi resiko aspirasi isi lambung
dan meminimalkan resiko trauma lebih lanjut pada esofagus dan lambung.
11. Meningkatkan pembekuan dengan memberikan
vitamin larut lemak yang diperlukan untuk mekanisme pembekuan darah.
12. Menenangkan pasien yang merasa cemas dan
memungkinkan pemantauan serta deteksi terhadap kebutuhan pasien selanjutnya.
13. Mengurangi resiko perdarahan lebih
lanjut dengan meningkatkan vasokontriksi pembuluh darah esofagus dan lambung.
14.
Meningkatkan keamanan pasien.
a. Mengurangi resiko trauma dan perdarahan
dengan menghindari cedera, terjatuh, terpotong, dll.
b. Mengurangi resiko epistaksis sekunder
akibat trauma dan penurunan pembekuan darah.
c. Mencegah trauma pada mukosa oral
sementara higiene oral yang baik ditingkatkan.
d.
Meningkatkan proses
penyembuhan.
e.
Mengurangi perdarahan ke
dalam jaringan dengan meningkatkan vasokontriksi lokal.
f.
Memungkinkan deteksi tempat
perdarahan yang baru dan pemantauan tempat perdarahan sebelumnya.
g.
Meminimalkan perambesan dan
kehilangan darah akibat penyuntikan yang berkali-kali.
15.
Mengurangi resiko efek
samping yang terjadi sekunder karena ketidakmampuan hati yang rusak untuk
melakukan detoksifikasi (memetabolisasi) obat secara normal.
|
· Tidak memperlihatkan adanya perdarahan yang nyata dari traktus
gastrointestinal.
· Tidak memperlihatkan adanya kegelisahan, rasa penuh pada
epigastrium dan indikator lain yang menunjukkan hemoragi serta syok.
· Memperlihatkan hasil pemeriksaan yang negatif untuk perdarahan
tersembunyi gastrointestinal.
· Bebas dari daerah-daerah yang mengalami ekimosis atau pembentukan
hematom.
· Memperlihatkan tanda-tanda vital yang
normal.
· Mempertahankan istirahat dalam keadaan
tenang ketika terjadi perdarahan aktif.
· Mengenali rasional untuk melakukan
transfusi darah dan tindakan guna mengatasi perdarahan.
· Melakukan tindakan untuk mencegah trauma
(misalnya, menggunakan sikat gigi yang lunak, membuang ingus secara
perlahan-lahan, menghindari terbentur serta terjatuh, menghindari mengejan
pada saat defekasi).
· Tidak mengalami efek samping pemberian
obat.
· Menggunakan semua obat seperti yang
diresepkan.
· Mengenali rasional untuk melakukan
tindakan penjagaan dengan menggunakan semua obat.
|
Diagnosa keperawatan : Nyeri
dan gangguan rasa nyaman berhubungan dengan hati yang membesar serta nyeri
tekan dan asites.
Tujuan :
Peningkatan rasa kenyamanan.
|
||
1. Pertahankan tirah baring ketika pasien
mengalami gangguan rasa nyaman pada abdomen.
2. Berikan antipasmodik dan sedatif seperti
yang diresepkan.
3. Kurangi asupan natrium dan cairan jika
diinstruksikan.
|
1. Mengurangi kebutuhan metabolik dan
melindungi hati.
2.
Mengurangi iritabilitas
traktus gastrointestinal dan nyeri serta gangguan rasa nyaman pada abdomen.
3.
Memberikan dasar untuk
mendeteksi lebih lanjut kemunduran keadaan pasien dan untuk mengevaluasi
intervensi.
4. Meminimalkan pembentukan asites lebih
lanjut.
|
· Mempertahankan tirah baring dan
mengurangi aktivitas ketika nyeri terasa.
· Menggunakan antipasmodik dan sedatif
sesuai indikasi dan resep yang diberikan.
· Melaporkan pengurangan rasa nyeri dan
gangguan rasa nyaman pada abdomen.
· Melaporkan rasa nyeri dan gangguan rasa
nyaman jika terasa.
· Mengurangi asupan natrium dan cairan
sesuai kebutuhan hingga tingkat yang diinstruksikan untuk mengatasi asites.
· Merasakan pengurangan rasa nyeri.
· Memperlihatkan pengurangan rasa nyeri.
· Memperlihatkan pengurangan lingkar perut
dan perubahan berat badan yang sesuai.
|
Diagnosa keperawatan : Kelebihan
volume cairan berhubungan dengan asites dan pembentukan edema.
Tujuan :
Pemulihan kepada volume cairan yang
normal.
|
||
1.
Batasi asupan natrium dan
cairan jika diinstruksikan.
2. Berikan diuretik, suplemen kalium dan
protein seperti yang dipreskripsikan.
3.
Catat asupan dan haluaran
cairan.
4. Ukur dan catat lingkar perut setiap
hari.
5.
Jelaskan rasional pembatasan
natrium dan cairan.
|
1. Meminimalkan pembentukan asites dan
edema.
2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat
ginjal dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit yang normal.
3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan
asupan cairan.
4.
Memantau perubahan pada
pembentukan asites dan penumpukan cairan.
5. Meningkatkan pemahaman dan kerjasama
pasien dalam menjalani dan melaksanakan pembatasan cairan.
|
· Mengikuti diet rendah natrium dan
pembatasan cairan seperti yang diinstruksikan.
· Menggunakan diuretik, suplemen kalium
dan protein sesuai indikasi tanpa mengalami efek samping.
· Memperlihatkan peningkatan haluaran urine.
· Memperlihatkan pengecilan lingkar perut.
· Mengidentifikasi rasional pembatasan natrium dan cairan.
|
Diagnosa keperawatan : Perubahan proses berpikir berhubungan dengan
kemunduran fungsi hati dan peningkatan kadar amonia.
Tujuan :
Perbaikan status mental.
|
||
1. Batasi protein makanan seperti yang
diresepkan.
2. Berikan makanan sumber karbohidrat dalam
porsi kecil tapi sering.
3.
Berikan perlindungan terhadap
infeksi.
4. Pertahankan lingkungan agar tetap hangat
dan bebas dari angin.
5. Pasang bantalan pada penghalang di
samping tempat tidur.
6.
Batasi pengunjung.
7. Lakukan pengawasan keperawatan yang
cermat untuk memastikan keamanan pasien.
8.
Hindari pemakaian preparat
opiat dan barbiturat.
9.
Bangunkan dengan interval.
|
1.
Mengurangi sumber amonia
(makanan sumber protein).
2.
Meningkatkan asupan
karbohidrat yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan energi dan “mempertahankan”
protein terhadap proses pemecahannya untuk menghasilkan tenaga.
3.
Memperkecil resiko terjadinya
peningkatan kebutuhan metabolik lebih lanjut.
4. Meminimalkan gejala menggigil karena
akan meningkatkan kebutuhan metabolik.
5. Memberikan perlindungan kepada pasien
jika terjadi koma hepatik dan serangan kejang.
6. Meminimalkan aktivitas pasien dan
kebutuhan metaboliknya.
7. Melakukan pemantauan ketat terhadap
gejala yang baru terjadi dan meminimalkan trauma pada pasien yang mengalami
gejala konfusi.
8. Mencegah penyamaran gejala koma hepatik
dan mencegah overdosis obat yang terjadi sekunder akibat penurunan kemampuan
hati yang rusak untuk memetabolisme preparat narkotik dan barbiturat.
9. Memberikan stimulasi kepada pasien dan
kesempatan untuk mengamati tingkat kesadaran pasien.
|
· Memperlihatkan perbaikan status mental.
· Memperlihatkan kadar amonia serum dalam
batas-batas yang normal.
· Memiliki orientasi terhadap waktu,
tempat dan orang.
· Melaporkan pola tidur yang normal.
· Menunjukkan perhatian terhadap kejadian
dan aktivitas di lingkungannya.
· Memperlihatkan rentang perhatian yang normal.
· Mengikuti dan turut serta dalam percakapan secara tepat.
· Melaporkan kontinensia fekal dan urin.
· Tidak mengalami kejang.
|
Diagnosa keperawatan : Pola napas yang tidak efektif berhubungan
dengan asites dan restriksi pengembangan toraks akibat aistes, distensi
abdomen serta adanya cairan dalam rongga toraks.
Tujuan :
Perbaikan status pernapasan.
|
||
1.
Tinggalkan bagian kepala
tempat tidur.
2.
Hemat tenaga pasien.
3.
Ubah posisi dengan interval.
4. Bantu pasien dalam menjalani
parasentesis atau torakosentesis.
a. Berikan dukungan dan pertahankan posisi
selama menjalani prosedur.
b.
Mencatat jumlah dan sifat
cairan yang diaspirasi.
c.
Melakukan observasi terhadap
bukti terjadinya batuk, peningkatan dispnu atau frekuensi denyut nadi.
|
1.
Mengurangi tekanan abdominal
pada diafragma dan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru yang
maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan
oksigen pasien.
3. Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan
oksigenasi pada semua bagian paru).
4. Parasentesis dan torakosentesis (yang
dilakukan untuk mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan tindakan
yang menakutkan bagi pasien. Bantu pasien agar bekerja sama dalam menjalani
prosedur ini dengan meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman.
b. Menghasilkan catatan tentang cairan yang
dikeluarkan dan indikasi keterbatasan pengembangan paru oleh cairan.
c. Menunjukkan iritasi rongga pleura dan
bukti adanya gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau hemotoraks
(penumpukan udara atau darah dalam rongga pleura).
|
· Mengalami perbaikan status pernapasan.
· Melaporkan pengurangan gejala sesak
napas.
· Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa
sehat.
· Memperlihatkan frekuensi respirasi yang
normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan.
· Memperlihatkan pengembangan toraks yang
penuh tanpa gejala pernapasan dangkal.
· Memperlihatkan gas darah yang normal.
· Tidak mengalami gejala konfusi atau
sianosis.
|
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2001). Keperawatan medikal bedah
2. (Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Doenges, Marilynn E, Mary
Frances Moorhouse dan Alice C. Geisser. (1999). Rencana asuhan keperawatan : pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).
Tjokronegoro dan Hendra Utama. (1996). Ilmu penyakit dalam jilid 1.
Jakarta: FKUI.
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (1994). Patofisiologi, konsep
klinis proses-proses penyakit. Jakarta: Penerbit EGC.
Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta : FKUI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar