A.
Pengertian
Cedera Kepala
Cedera
kepala adalah suatu gangguan
traumatik dari fungsi otak yang
disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa
diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).
Menurut
Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan
serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak
karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis
terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig,
serta edema cereblal disekitar jaringan otak.
(B.Batticaca, 2008).
Cedera
kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala,tengkorak dan otak.
Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yangserius diantara
penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil kecelakaan
jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
B.
Penyebab
Cedera Kepala
Cedera kepala
disebabkan oleh
1. Kecelakaan
lalu lintas
2. Jatuh
3. Trauma
benda tumpul
4. Kecelakaan
kerja
5. Kecelakaan
rumah tangga
6. Kecelakaan
olahraga
7. Trauma
tembak dan pecahan bom (Ginsberg, 2007)
C. Manifestasi Klinis
1.
Nyeri yang menetap atau setempat.
2.
Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah
cranial.
3.
Fraktur dasar tengkorak: hemorasi dari hidung, faring
atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva, memar diatas mastoid
(tanda battle), otoreaserebro spiral ( cairan cerebros piral keluar dari
4.
telinga ), minoreaserebrospiral (les keluar dari
hidung).
5.
Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan
spinal berdarah.
6.
Penurunan kesadaran.
7.
Pusing / berkunang-kunang.Absorbsi cepat les dan
penurunan volume intravaskuler
8.
Peningkatan TIK
9.
Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremita.
10. Peningkatan
TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan
D.
Patofisiologi
Cedera Kepala
Menurut
Tarwoto (2007 : 127) adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan
struktur, misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh
darah,perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis
tripospat,perubahan permeabilitas faskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat
di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala
sekunder. Cedera kepala primer merupakan
suatu proses biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah
kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan
terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat ( fokal ) local, maupun difus.
Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu saja
dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan difus yaitu
kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak dan umumnya
bersifat makroskopis.
Cedera
kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer, misalnya akibat
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma,
misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah di ruang Epidural diantara
periosteum tengkorak dengan durameter,subdural hematoma akibat berkumpulnya
darah pada ruang antara durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal
hematom adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral.
E.
Klasifikasi
Cedera Kepala
Cedera kepala dapat
diklasifikasikan dalam berbagai aspek
yang secara deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan
beratnya cedera kepala. (IKABI, 2004).
1. Berdasarkan mekanismenya cedera
kepala dikelompokkan menjadi dua yaitu
a. cedera
kepala tumpul.
Cedera kepala tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh/pukulan benda tumpul.
Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7 dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan melakukan kontak pada
protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera
tembus
Cedera tembus
disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
(IKABI, 2004)
2. Berdasarkan
morfologi cedera kepala
Cedera
kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat
terjadi diarea tulang tengkorak yang meliputi
a. Laserasi
kulit kepala
Laserasi kulit kepala
sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin,
connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum
terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap
tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung
pembuluh darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
b. Fraktur
tulang kepala
Fraktur tulang
tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi
1) Fraktur
linier
Fraktur
linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada tulang
tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur lenier dapat
terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang kepala cukup besar tetapi
tidak menyebabkan tulang kepala
bending dan tidak terdapat
fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.
2) Fraktur
diastasis
Fraktur
diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg tengkorak yang
mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala. Jenis fraktur ini sering
terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa
sering terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya hematum
epidural.
3) Fraktur
kominutif
Fraktur
kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih dari satu
fragmen dalam satu area fraktur.
4) Fraktur
impresi
Fraktur impresi tulang
kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai
tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur impresi pada
tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi pada duremater dan
jaringan otak, fraktur impresi dianggap
bermakna terjadi, jika tabula eksterna
segmen yang impresi masuk dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
5) Fraktur
basis kranii
Fraktur
basis kranii adalah suatu fraktur linier yang
terjadi pada dasar tulang tengkorak,
fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada durameter yang
merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur
fossa anterior, fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara
anatomi ada perbedaan struktur di daerah
basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah basis krani lebih tipis
dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah basis melekat lebih erat pada
tulang dibandingkan daerah kalfaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis
dapat menyebabkan robekan durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan
cerebrospinal yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak
(meningitis).
Pada
pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes sign (fraktur
basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi
ini juga 9 dapat menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi
adalah gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis)
dan saraf pendengaran
(N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis kranii meliputi
pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak misalnya dengan
mencegah batuk, mengejan, dan makanan yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang
hidung dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT)
pada tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan
kepala miring ke posisi yang sehat.
c. Cedera
kepala di area intrakranial
Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak
fokal dan cedera otak difus Cedera otak
fokal yang meliputi.
1) Perdarahan
epidural atau epidural hematoma (EDH) Epidural hematom (EDH) adalah adanya
darah di ruang epidural yitu ruang potensial antara tabula interna
tulangtengkorak dan durameter. Epidural hematom dapat menimbulkan penurunan
kesadaran adanya interval lusid selama
beberapa jam dan kemudian terjadi
defisit neorologis berupa hemiparesis kontralateral dan gelatasi pupil
itsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan antara lain sakit kepala, muntah,
kejang dan hemiparesis.
2) Perdarahan
subdural akut atau subdural hematom
(SDH) akut
Perdarahan subdural
akut adalah terkumpulnya darah di ruang subdural yang terjadi akut (6-3 hari).
Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil dipermukaan korteks
cerebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh hemisfir otak. Biasanya
kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan 10 prognosisnya jauh lebih buruk
dibanding pada perdarahan epidural.
3) Perdarahan
subdural kronik atau SDH kronik
Subdural hematom kronik
adalah terkumpulnya darah diruang subdural lebih dari 3 minggu setelah
trauma. Subdural hematom kronik diawali
dari SDH akut dengan jumlah darah yang sedikit. Darah di ruang subdural akan
memicu terjadinya inflamasi sehingga akan terbentuk bekuan darah atau clot yang
bersifat tamponade. Dalam beberapa hari akan terjadi infasi fibroblast ke dalam
clot dan membentuk noumembran pada lapisan dalam (korteks) dan lapisan luar
(durameter). Pembentukan neomembran tersebut akan di ikuti dengan pembentukan
kapiler baru dan terjadi fibrinolitik sehingga terjadi proses degradasi atau
likoefaksi bekuan darah sehingga terakumulasinya cairan hipertonis yang
dilapisi membran semi permeabel. Jika keadaan ini terjadi maka akan menarik
likuor diluar membran masuk kedalam membran sehingga cairan subdural bertambah
banyak. Gejala klinis yang dapat ditimbulkan oleh SDH kronis antara lain sakit
kepala, bingung, kesulitan berbahasa dan gejala yang menyerupai TIA (transient ischemic attack).disamping itu
dapat terjadi defisit neorologi yang berfariasi seperti kelemahan otorik dan
kejang.
4) Perdarahan
intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)
Intra cerebral hematom
adalah area perdarahan yang homogen dan konfluen yang terdapat didalam parenkim
otak. Intra cerebral hematom bukan disebabkan oleh benturan antara parenkim
otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan
oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang menyebabkan pecahnya
pembuluh darah yang terletak lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh
darah kortikal dan subkortikal. Gejala klinis yang ditimbulkan oleh ICH antara
lain adanya 11 penurunan kesadaran.
Derajat penurunan kesadarannya dipengaruhi oleh mekanisme dan energi dari
trauma yang dialami.
5) Perdarahan
subarahnoit traumatika (SAH)
Perdarahan subarahnoit
diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik arteri maupun vena dalam
jumlah tertentu akibat trauma dapat memasuki ruang subarahnoit dan disebut
sebagai perdarahan subarahnoit (PSA). Luasnya PSA menggambarkan luasnya
kerusakan pembuluh darah, juga menggambarkan burukna prognosa. PSA yang luas
akan memicu terjadinya vasospasme pembuluh darah dan menyebabkan iskemia akut
luas dengan manifestasi edema cerebri.
3. Klasifikasi
cedera kepala berdasarkan beratnya
Cedera kepala
berdasarkan beratnya cedera,
menurut (Mansjoer, 2000) dapat diklasifikasikan penilaiannya
berdasarkan skor GCS dan dikelompokkan menjadi
a. Cedera
kepala ringan dengan nilai GCS 14 – 15
1) Pasien
sadar, menuruti perintah tapi disorientasi.
2) Tidak
ada kehilangan kesadaran
3) Tidak
ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
4) Pasien
dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
5) Pasien
dapat menderita laserasi, hematoma kulit kepala
b. Cedera
kepala sedang dengan nilai GCS 9 – 13
Pasien bisa atau tidak
bisa menuruti perintah, namun tidak memberi respon yang sesuai dengan
pernyataan yang di berikan
1) Amnesia
paska trauma
2) Muntah
3) Tanda
kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea
atau rinorea cairan serebro spinal)
4) Kejang
c. Cedera
kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8.
1) Penurunan
kesadaran sacara progresif
2) Tanda
neorologis fokal
3) Cedera
kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium
(mansjoer, 2000)
F.
Komplikasi
Cedera Kepala
Komplikasi yang sering
dijumpai dan berbahaya menurut (Markam,
1999) pada cedera kepala meliputi
1. Koma
Penderita tidak sadar
dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas
berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah 16 masa ini penderita akan
terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun
demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya.
Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh.
2. Kejang/Seizure
Penderita yang
mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali kejang pada
masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang
menjadi epilepsy
3. Infeksi
Fraktur tulang
tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman
dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki
potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain.
4. Hilangnya
kemampuan kognitif
Berfikir, akal sehat,
penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif.
Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran.
5. Penyakit
Alzheimer dan Parkinson
Pada khasus cedera
kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit Alzheimer tinggi dan sedikit
terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan
keparahan cedera.
G.
Penatalaksanaan
Cedera Kepala
Pada cedera kulit
kepala, suntikan prokain melalui sub kutan membuatluka mudah dibersihkan dan
diobati. Daerah luka diirigasi untuk mengeluarkan benda asing dan
miminimalkan masuknya infeksi sebelumlaserasi ditutup.
1. .Menilai
jalan nafas : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;lepaskan gigi
palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgnmemasang collar
cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jikacedera orofasial mengganggu
jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai
pernafasan : tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jikatidak beri O2
melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki danatasi cedera dada
berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks.Pasang oksimeter nadi untuk
menjaga saturasi O2minimum 95%. Jika jalan nafas pasien tidak terlindung
bahkan terancan/memperoleh O2 ygadekuat ( Pa O2 >95% dan Pa CO2<40% mmHg
serta saturasi O2 >95%)atau muntah maka pasien harus diintubasi serta
diventilasi oleh ahlianestesi.
3. Menilai
sirkulasi : otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan semua perdarahan
dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intraabdomen/dada.Ukur dan
catat frekuensidenyut jantung dan tekanan darah pasang EKG.Pasang jalur
intravena yg besar.Berikan larutan koloidsedangkan larutan kristaloid menimbulkan
eksaserbasi edema.
4. Obati
kejang : Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harusdiobati
mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dandpt diulangi 2x
jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin15mg/kgBB.
5. Menilai
tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB6.Pada semua pasien dengan cedera kepala
dan/atau leher,lakukan fototulang belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan
odontoid ),kolar servikal baru dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh
keservikal C1-C7normal7.Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :-
Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairanisotonis
lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairanhipotonis dan
larutan ini tdk menambah edema cerebri- Lakukan pemeriksaan : Ht, periksa darah
perifer lengkap, trombosit, kimia darah. Lakukan CT scanPasien dgn CKR, CKS,
CKB harusn dievaluasi adanya :1.Hematoma epidural2.Darah dalam sub arachnoid
dan intraventrikel3.Kontusio dan perdarahan jaringan otak 4.Edema
cerebri5.Pergeseran garis tengah6.Fraktur kranium8.Pada pasien yg koma ( skor
GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda herniasilakukan : Elevasi kepala 30,
Hiperventilasi, Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit. Dosis
ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semulasetiap 6
jam sampai maksimal 48 jam I- Pasang kateter foley-Konsul bedah saraf bila
terdapat indikasi opoerasi (hematom epidural besar,hematom sub
dural,cedera kepala terbuka,fraktur impresi >1 diplo).
H. Nursing Care Plaing
Data dasar pengkajian
pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cederadan mungkin di persulit oleh
cedera tambahan pada organ vitala.
1.
Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa
lemah,lelah,kaku hilang keseimbangan
Tanda :
a.
Perubahan kesadaran, letargi
b.
Hemiparese
c.
ataksia cara berjalan tidak tegap
d.
masalah dlm keseimbangan
e.
cedera/trauma ortopedi
f.
kehilangan tonus otot
2.
Sirkulasi
Gejala : Perubahan
tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia
yg diselingi bradikardia disritmiac.
3. Integritas
ego
Gejala : Perubahan
tingkah laku atau kepribadian
Tanda : Cemas, mudah
tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresid.
4. Eliminasi
Gejala : Inkontensia
kandung kemih/usus mengalami gangguanfungsie.
5. Makanan/cairan
Gejala : mual, muntah
dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah,
gangguan menelanf.
6. Neurosensori
Gejala : Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus,
kehilangan pendengaran, Perubahan dalam penglihatan seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagain lapang pandang, gangguan pengecapan dan
penciuman
Tanda : Perubahan
kesadran bisa sampai koma, Perubahan status mental, Perubahan pupil, Kehilangan
penginderaan, Wajah tdk simetris, Genggaman lemah tidak seimbang, Kehilangfan
sensasi sebagian tubuhg.
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala
dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah
menyeringai,respon menarik pada ransangan nyeri yg hebat, merintihh.
8. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola
nafas, nafas berbunyi, stridor, tersedak,ronkhi,mengii.
9. Keamanan
Gejala : Trauma
baru/trauma karena kecelakaan
Tanda :
Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
10. Kulit
: laserasi,abrasi,perubahan warna, tanda batledi sekitar telinga, adanya aliran
cairan dari telinga atau hidung, Gangguan kognitif, Gangguan rentang gerak,
Demam
I.
Diagnosa
Keperawatan dan Intervensi
DX 1 : Resiko tinggi peningkatan TIK yang
berhubungan dengan desak ruang sekunder dari kompresi korteks serebri dari
adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma,
dan epidural hematoma.
|
|
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi
peningkatan TIK pada klien.
Kriteria hasil : klien tidak gelisah, klien tidak
mengeluh nyeri kepala, mual-mual dan muntah, GCS 4, 5, 6, tidak terdapat
papiledema. TTV dalam batas normal.
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Mandiri
Kaji faktor penyebab dari situasi/keadaan
individu/penyebab koma/penurunan perfusi jaringan dan kemungkinan penyebab
peningkatan TIK.
|
Deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi,
mengkaji status neurologis/tanda-tanda kegagalan untuk menentukan perawatan
kegawatan atau tindakan pembedahan.
|
Memonitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
|
Suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan darah
sistemik, penurunan dari autoregulator kebanyakan merupakan tanda
penurunan difusi local vaskularisasi darah serebral. Dengan peningkatan
tekanan darah (diastolic) maka dibarengi dengan peningkatan tekanan darah
intrakrinial. Adanya peningkatan tekanan darah, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
|
Evaluasi pupil, amati ukuran, ketajaman, dan reaksi
terhadap cahaya.
|
Reaksi pupil dan pergerakan kembali dari bola mata
merupakan tanda dari gangguan nervus/saraf jika batang otak terkoyak. Reaksi
pupil diatur oleh saraf III cranial (okulomotorik) yang menunjukkan
keseimbangan antara parasimpatis dan simpatis. Respon terhadap cahaya
merupakan kombinasi fungsi dari saraf cranial II dan III.
|
Monitor temperatur dan pengaturan suhu lingkungan.
|
Panas merupakan refleks dari hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolism dan O2
akan menunjang peningkatan TIK/ICP (Intracranial Pressure).
|
Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral,
usahakan dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi pada
kepala.
|
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan
penekanan pada vena jugularis dan menghambat aliran darah otak (menghambat
drainase pada vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan
intracranial.
|
Berikan periode istirahat antara tindakan perawatan
dan batasi lamanya prosedur.
|
Tindakan yang terus-menerus dapat meningkatkan TIK
oleh efek rangsangan kumulatif.
|
Kurangi rangsangan ekstra dan berikan rasa nyaman
seperti masase punggung, lingkungan yang tenang. Sentuhan yang ramah, dan
suasana / pembicaraan yang tidak gaduh.
|
Memberikan suasana yang tenang (colming effect)
dapat mengurangi respons psikologis dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah.
|
Cegah/hindarkan terjadinya valsava maneuver.
|
Mengurangi tekanan intratorakal dan intraabdominal
sehingga menghindari peningkatan TIK.
|
Bantu klien jika batuk, muntah.
|
Aktivitas ini dapat meningkatkan
intrathorakal/tekanan dalam thoraks dan tekanan dalam abdomen dimana
aktivitas ini dapat meningkatkan tekanan TIK.
|
Kaji peningkatan istirahat dan tingkat laku.
|
Tingkah nonverbal ini dapat merupakan indikasi
peningkatan TIK atau memberikan refleks nyeri dimana klien tidak mampu
mengungkapkan keluhan secara verbal, nyeri yang tidak menurun dapat
meningkatkan TIK.
|
Palpasi pada pembesaran/pelebaran bladder,
pertahankan drainase urine secara paten jika di gunakan dan juga monitor
terdapatnya konstipasi.
|
Dapat meningkatkan repons otomatis yang potensial
menaikkan TIK.
|
Berikan penjelasan pada klien (jika sadar) dan
keluarga tentang sebab-sebab TIK meningkat.
|
Meningkatkan kerja sama dalam meningakatkan
perawatan klien dan mengurangi kecemasan.
|
Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.
|
Perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan TIK dan
berguna menentukan lokasi dan perkembangan penyakit.
|
Kolaborasi :
Pemberian O2 sesuai indikasi.
|
Mengurangi hipoksemia, dimana dapat meningkatkan
vasodilatasi serebral, volume darah, dan menaikkan TIK.
|
Kolaborasi untuk tindakan operatif evakuasi darah
dari dalam intracranial.
|
Tindakan pembedahan untuk evakuasi darah dilakukan
bila kemungkinan terdapat tanda-tanda deficit neurologis yang menandakan
peningkatan ntrakranial.
|
Berikan cairan intravena sesuai indikasi.
|
Pemberian cairan mungkin di inginkan untuk mengurangi
edema serebral, peningkatan minimum pada pembuluh darah, tekanan darah dan
TIK.
|
Berikan obat osmosis diuretic contohnya : manitol,
furoscide.
|
Diuretic mungkin digunakan pada fase akut untuk
mengalirkan air dari sel otak dan mengurangi edema serebral dan TIK.
|
Berikan steroid contohnya : dexamethason, methyl
prenidsolon.
|
Untuk menurunkan inflamasi (radang) dan mengurangi
edema jaringan.
|
Berikan analgesic narkotik contoh : kodein.
|
Mungkin di indikasikan untuk mengurangi nyeri dan
obat ini berefek negatif pada TIK tetapi dapat digunakan dengan tujuan untuk
mencegah dan menurunkan sensasi nyeri.
|
Berikan antipiretik contohnya : asetaminofen.
|
Mengurangi/mengontrol hari dan pada metabolisme
serebral/oksigen yang diinginkan.
|
Monitor hasil laboratorium sesuai dengan indikasi
seperti prothrombin, LED.
|
Membantu memberikan informasi tentang efektifitas
pemberian obat.
|
DX 2 : Ketidakefektifnya pola pernapasan yang
berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, kelemahan otot-otot pernapasan,
ekspansi paru yang tidak maksimal karena trauma, dan perubahan perbandingan O2
dengan CO2, kegagalan ventilator.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam setelah intervensi
adanya peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil : Memperlihatkan frekuensi pernapasan
yang efektif, mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru, adaptif
mengatasi faktor-faktor penyebab.
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dengan
peninggian kepala tempat tidur. Balik kesisi yang sakit. Dorong klien untuk
duduk sebanyak mungkin.
|
Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan
ekspansi paru dan ventilasi pada sisi yang tidak sakit.
|
Observasi fungsi pernapasan, dispnea, atau perubahan
tanda-tanda vital.
|
Distress pernapasan dan perubahan pada tanda vital
dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan nyeri atau dapat
menunujukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia.
|
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut
dilakukan untuk menjamin keamanan.
|
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
|
Jelaskan pada klien tentang etiologi/factor pencetus
adanya sesak atau kolaps paru-paru.
|
Pengetahuan apa yang diharapkan dapat mengurangi
ansietas dan mengembangkan kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
|
Pertahankan perilaku tenang, bantu klien untuk
control diri dengan menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
Periksalah alarm pada ventilator sebelum
difungsikan. Jangan mematikan alarm.
|
Membantu klien mengalami efek fisiologi hipoksia,
yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan/ansietas.
Ventilator yang memiliki alarm yang bias dilihat dan
didengar misalnya alarm kadar oksigen, tinggi/rendahnya tekanan oksigen.
|
Tarulah kantung resusitasi disamping tempat tidur
dan manual ventilasi untuk sewaktu-waktu dapat digunakan.
|
Kantung resusitasi/manual ventilasi sangat berguna
untuk mempertahankan fungsi pernapasan jika terjadi gangguan pada alat
ventilator secara mendadak.
|
Bantulah klien untuk mengontrol pernapasan jika
ventilator tiba-tiba berhenti.
|
Melatih klien untuk mengatur napas seperti napas
dalam, napas pelan, napas perut, pengaturan posisi, dan teknik relaksasi
dapat membantu memaksimalkan fungsi dan system pernapasan.
|
Perhatikan letak dan fungsi ventilator secara rutin.
Pengecekan konsentrasi oksigen, memeriksa tekanan
oksigen dalam tabung, monitor manometer untuk menganalisis batas/kadar
oksigen.
Mengkaji tidal volume (10-15 ml/kg). periksa fungsi
spirometer.
|
Memerhatikan letak dan fungsi ventilator sebagai
kesiapan perawat dalam memberikan tindakan pada penyakit primer setelah
menilai hasil diagnostik dan menyediakan sebagai cadangan.
|
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain :
Dengan dokter, radiologi, dan fisioterapi.
§ Pemberian antibiotik.
§ Pemberian analgesic.
§ Fisioterapi dada.
§ Konsul foto thoraks.
|
Kolaborasi dengan tim kesehatan lain untuk
mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
|
DX 3 : Tidak efektif bersihan jalan napas yang
berhubungan dengan adanya jalan napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi
sekret, dan ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan
keletihan.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam terdapat perilaku
peningkatan keefektifan jalan napas.
Kriteria hasil : Bunyi napas terdengar bersih,
ronkhi tidak terdengar, tracheal tube bebas sumbatan, menunjukkan batuk yang
efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan.
|
|
Intervensi
|
Rasionalisasi
|
Kaji keadaan jalan napas
|
Obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh akumulasi
sekret, sisa cairan mucus, perdarahan, bronkhospasme, dan/atau posisi dari
endotracheal/tracheostomy tube yang berubah.
|
Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas
pada kedua paru (bilateral).
|
Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas
yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu. Saluran
napas bagian bawah tersumbat dapat terjadi pada pneumonia/atelektasis akan
menimbulkan perubahan suara napas seperti ronkhi atau wheezing.
|
Monitor letak/posisi endotracheal tube. Beri tanda
batas bibir.
Lekatkan tube secara hati-hati dengan memakai
perekat khusus.
Mohon bantuan perawat lain ketika memasang dan
mengatur posisi tube.
|
Endotracheal tube dapat saja masuk ke dalam bronchus
kanan, menyebabkan obstruksi jalan napas ke paru-paru kanan dan mengakibatkan
klien mengalami pneumothoraks.
|
Catat adanya batuk, bertambahnya sesak napas, suara
alarm dari ventilator karena tekanan yang tinggi, pengeluaran sekret melalui
endotracheal/tracheostomy tube, bertambahnya bunyi ronkhi.
|
Selama intubasiklien mengalami refleks batuk yang
tidak efektif, atau klien akan mengalami kelemahan otot-otot pernapasan
(neuromuscular/neurosensorik), keterlambatan untuk batuk. Semua klien
tergantung dari alternatif yang dilakukan seperti mengisap lender dari jalan
napas.
|
Lakukan penghisapan lender jika diperlukan, batasi
durasi pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter pengisap yang
sesuai, cairan fisiologis steril.
Berikan oksigen 100% sebelum dilakukan pengisapan
dengan ambu bag (hiperventilasi).
|
Pengisapan lendir tidak selamanya dilakukan
terus-menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah bahaya
hipoksia.
Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih dari 50%
diameter endotracheal/tracheostomy tube untuk mencegah hipoksia.
Dengan membuat hiperventilasi melalui pemberian
oksigen 100% dapat mencegah terjadinya atelektasis dan mengurangi terjadinya
hipoksia.
|
Anjurkan klien mengenai tekhik batuk selama
pengisapan seperti waktu bernapas panjang, batuk kuat, bersin jika ada
indikasi.
|
Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari
saluran napas.
|
Atur/ubah posisi klien secara teratur (tiap 2jam).
|
Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen
paru-paru, mengurangi risiko atelektasis.
|
Berikan minum hangat jika keadaan memungkinkan.
|
Membantu pengenceran sekret, mempermudah pengeluaran
sekret.
|
Jelaskan kepada klien tentang kegunaan batuk efektif
dan mengapa terdapat penumpukan sekret di saluran pernapasan.
|
Pengetahuan yang diharapkan akan membantu mengembangkan
kepatuhan klien terhadap rencana terapeutik.
|
Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk
pengontrolan batuk.
|
Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan
tidak efektif, dapat menyebabkan frustasi.
|
Napas dalam dan perlahan saat duduk setegak mungkin.
|
Memungkinkan ekspansi paru lebih luas.
|
Lakukan pernapasan diafragma.
|
Pernapasan diafragma menurunkan frekuensi napas dan
meningkatkan ventilasi alveolar.
|
Tahap napas selama 3-5 detik kemudian secara
perlahan-lahan, dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mulut.
|
Meningkatkan volume udara dalam paru, mempermudah
pengeluaran sekresi sekret.
|
Lakukan napas kedua, tahan, dan batukkan dari dada
dengan melakukan 2 batuk pendek dan kuat.
|
Pengkajian ini membantu mengevaluasi keefektifan
upaya batuk klien.
|
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
|
Sekresi kental sulit untuk di encerkan dan dapat
menyebabkan sumbatan mucus, yang mengarah pada atelektasis.
|
Ajarkan klien tindakan untuk menurunkan viskositas
sekresi. : mempertahankan hidrasi yang adekuat; meningkatkan masukan cairan
1000-1500 cc/hari bila tidak ada kontraindikasi.
|
Untuk menghindari pengentalan dari sekret atau mosa
pada saluran napas pada bagian atas.
|
Dorong atau berikan perawatan mulut yang baik
setelah batuk.
|
Higine mulut yang baik meningkatkan rasa
kesejahteraan dan mencegah bau mulut.
|
Kolaborasi dengan dokter, radiologi, dan
fisioterapi.
§ Pemberian ekspektoran.
§ Pemberian antibiotic.
§ Fisioterapi dada.
§ Konsul foto thoraks.
|
Ekspektoran untuk memudahkan mengeluarkan lendir dan
mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.
|
Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi seperti
postural drainage, perkusi/penepukan.
|
Mengatur ventilasi segmen paru-paru dan pengeluaran
sekret.
|
Berikan obat-obat bronchodilator sesuai indikasi
seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupent), adoetharine
hydrochloride (bronkosol).
|
Mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
relaksasi muscle/bronchospasme.
|
DX 4 : Nyeri akut yang berhubungan dengan trauma
jaringan dan refleks spasme otot sekunder.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam nyeri
berkurang/hilang.
Kriteria hasil : Secara subjektif melaporkan nyeri
berkurang atau dapat diadaptasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang
meningkatkan atau menurunkan nyeri, klien tidak gelisah.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri
nonfarmakologi dan non-invasif.
|
Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan
nonfarmakologi lainnya telah menunujukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri.
|
Ajarkan relaksasi :
Teknik-teknik untuk menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat menurunkan intensitas nyeri dan juga tingkatkan relaksasi
masase.
|
Akan melansarkan peredaran darah sehingga kebutuhan
O2 oleh jaringan akan terpenuhi dan akan mengurangi nyerinya.
|
Ajarkan metode distraksi selama nyeri akut.
|
Mengalihkan perhatian nyerinya ke hal-hal yang
menyenangkan.
|
Berikan kesempatan waktu istirahat bala terasa nyeri
dan berikan posisi yang nyaman misalnya ketika tidur, belakangnya dipasang
bantal kecil.
|
Istirahat akan merelaksasikan semua jaringan
sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
|
Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab nyeri dan
respons motorik klien, 30 menit setelah pemberian obat analgesic untuk
mengkaji efektivitasnya serta setiap 1-2 jam setelah tindakan perawatan
selama 1-2 hari.
|
Pengkajian yang optimal akan memberikan perawat data
yang objektif untuk mencegah kemungkinan komplikasi dan melakukan intervensi
yang tepat.
|
Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik.
|
Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri
akan berkurang.
|
DX 5 : Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (nemongi, nemotuma), edema serebral ; penurunan TD
sistemik / hipoksia.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 2x24 jam fungsi serebral
membaik, penurunan fungsi neurologis dapat d minimalkan /distabilkan.
Kriteria hasil : mempertahankan tingkat kesadaran
biasanya/membaik, fungsi kognitif dan motorik/sensorik, mendemonstrasikan
vital sign yang stabil dan tidak ada tanda-tanda peningktan TIK,
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji ulang tanda-tanda vital
klien dan status relirologis klien
|
Mengkaji
adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan
bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangankerusakan ssp.
|
Monitor
tekanan darah, catat adanya hipertensi sistolik secara teratur dan tekanan
nadi yang makin berat, obs, ht, pada klien yang mengalami trauma multiple.
|
Peningkatan
tekanan darah sistemik yang diikuti penurunan tekanan darah distolik (nadi
yang
membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, juga diikuti ( yang berhubungan dengan trauma kesadaran.Hipovolumia/ Ht (yang berhubungan dengan trauma multiples) dapat mengakibatkan kerusakan / iskemik serebral. |
Monitor
Heart Rate, catat adanya bradikardi, takikardi atau bentuk disritmia lainya.
|
Perubahan
pada ritme (paling sering bradikardia) dan disritmia dapat timbul yang
encerminkan
adanya depresi / trauma pada batang otak pada pasien yang tidak mempunyai kelainan jantung sebelumnya. |
Monitor
pernafasan meliputi pola dan ritme, seperti periode apnea setelah
hiperventilasi
(pernafasan cheyne – stokes). |
Nafas
tidak teratur menunjukkan adanya gangguan
serebral/ peningkatan TIK dan memerlukan intervensi lebih lanjut termasuk kemungkinan dukungan nafas buatan. |
Kaji
perubahan pada penglihatan ( penglihatan kabur, ganda, lap. Pandang menyempit
dan kedalaman persepsi. |
Gangguan
penglihatan dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada otak,
merupakan konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempngaruhi pilihan intervensi |
Pertahankan
kepala / leher pada posisi tengah/ pada posisi netral. Sokong dengan handuk
kecil /
bantal kecil. Hindari pemakaian bantal besar pada kepala |
Kepala
yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat aliran
darah lain yang selanjutnya akan
meningkat
TIK.
|
Kolaborasi
Tinggikan kepala pasien 15 –
45o sesuai indikasi / yang dapat ditoleransi. |
Meningkatkan
aliran balik vena dari kepala, sehingga mengurangi kongesti dan edema
/ resiko terjadinya peningkatan TIK. |
Kolaborasi
pemberian O2 tambahan sesuai
indikasi
|
Menurunkan
hipoksemia yang mana dapat menaikkan vasodilatasi dan vol darah serebral yang
meningkatkan TIK.
|
Kolaborasi
pemberian obat sesuai indikasi :
- Diuretik
- Steroid
-
Analgetik sedang
- Sedatif
|
· Untuk menurunkan air
dari sel otak, menurunkan edema otak
TIK.
· Menurunkan inflasi,
yang
selanjutnya menurunkan edema jaringan.
· Menghilangkan nyeri
dan dapat berakibat Θ pada TIK tetapi harus digunakan dengan hasil
untuk mencegah gangguan
pernafasan.
· Untuk mengendalikan
kegelisahan agitas |
DX 6 : gangguan nutrisi : kurang dari kbutuhan tubuh
berhubungan dengan perubahan kemampuan mencerna makanan, peningkatan
kebutuhan metabolisme.
|
|
Tujuan : Dalam waktu 3x24 jam kebutuhan nutrisi
klien terpenuhi.
Kriteria hasil : mengerti tentang pentingnya nutrisi
bagi tubuh, memperlihatkan kenaikan berat badan sesuai dengan pemeriksaan
laboratorium.
|
|
Intervensi
|
Rasional
|
Mandiri
Evaluasi kemampuan makan klien
|
Klien
dengan tracheostomy tube mungkin sulit untuk makan, tetapi klien dengan
endotracheal tube dapat menggunakan mag slang atau memberi makanan
parenteral.
|
Observasi/timbang
berat badan jika memungkinkan.
|
Tanda
kehilangan berat badan (7-10%) dan kekurangan intake nutrisi menunjang
terjadinya masalah katabolisme, kandungan glikogen dalam otot, dan kepekaan
terhadap pemasangan ventilator.
|
Catat
pemasukan peroral jika diindikasikan. anjurkan klien untuk makan
|
Nafsu
makan biasanya berkurang dan nutrisi yang masuk pun berkurang. menganjurkan
klien memilih makanan yang di senangi dapat dimakan ( bila sesuai anjuran).
|
Berikan
makanan kecil dan lunak
|
Mencegah
terjadinya kelelahan, memudahkan masuknya makanan, dan mencegah gangguan pada
lambung.
|
Kolaborasi
Aturlah
diet yang diberikan sesuaii keadaan klien
|
Diet
tinggi kalori, protein, karbohidrat sangat diperlukan selama pemasangan
ventilator untuk mempertahankan fungsi otot-otot respirasi. karbohidrat dapat
berperan dan penggunaan lemak meningkat untuk mencegah terjadinya produksi
co2 dan pengaturan sisa respirasi.
|
Lakukan
pemeriksaan laboratorium yang diindikasikan seperti serum,
transverin,BUN/kreatinin dan glukosa.
|
Memberikan
informasi yang tepat tentang keadaan nutrisi yang dibutuhkan klien.
|
DAFTAR PUSTAKA
Doenges,
Marilynn E.1999.Rencana Asuhan Keperawatan ed-3. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif.2008.Buku Ajar asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan sistem persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Smeltzer, Suzanne C.2010. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Vol 3 ed-8. Jakarta : EGC
http://asuhan-keperawatan-yuli.blogspot.com/2009/11/laporan-pendahuluan-cedera-kepala.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar